SURABAYA – Lembaga kemanusia terkemuka, Aksi Cepat Tanggap (ACT), tengah mendapatkan perhatian publik. Bagaimana tidak, dalam rilisan hasil investigasi majalah Tempo pada Sabtu (2/7/2022) lalu, lembaga tersebut diduga menyelewengkan dana dari donasi masyarakat. Laporan investigasi yang berjudul “Kantong Bocor Dana Umat” tersebut menyoroti keganjilan dari pengelolaan dana kemanusian oleh ACT.
Hal tersebut tentunya sangat mengejutkan, selama ini ACT dikenal sebagai lembaga filantropi yang selalu berada pada garda terdepan dalam menanggapi bencana kemanusian, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Baca juga:
STTAL Ciptakan Prototipe Drone Dua Media
|
Menanggapi kontroversi tersebut, Pakar Ekonomi Islam Universitas Airlangga (UNAIR), Dr Imron Mawardi SP MSi, mengatakan bahwa dirinya justru menyoroti tentang tata kelola keuangan dari ACT. Pasalnya, ACT menggunakan 13, 7 persen dana donasi untuk kebutuhan operasional. Padahal, pada PP No 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, tercantum penggunaan dana donasi untuk operasional paling banyak sebesar 10 persen.
“Ya, ada pelanggaran disini, dan kalau terjadi pelanggaran, sementara ini sudah berlangsung sekian lama. Juga menjadi pertanyaan, dimana posisi pemerintah dalam mengawasi dana publik, yaitu dana yang diterima seperti lembaga filantropi ini, ” ujar Imron pada Senin (11/7/2022).
Makna Ikhlas dalam Pengabdian
Selain itu, ia juga menyoroti pandangan masyarakat tentang pengabdian. Menurutnya, selama ini masyarakat masih mengkonotasikan keikhlasan dengan keharaman menerima harta atau imbalan dari hasil kinerjanya. Padahal, dalam pengelolaan dana umat juga dibutuhkan ilmu serta profesionalitas. Apalagi, dana yang dikelola bukan jumlah yang sedikit.
“Kalau mereka digaji tinggi, bagi saya, sebenarnya, biasa saja. Artinya memang seharusnya pekerja sosial baiknya tidak berbeda dengan pebisnis yang seharusnya juga dikelola oleh profesional. Cuman tampak dalam berita itu terlalu berlebihan, ” tambahnya perihal gaji pimpinan yang dianggap terlampau besar.
Transparansi Adalah Kunci
Tambahnya, ia pun menyadari bahwa kasus ini akan berdampak pada penurunan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga filantropi. Menurutnya, hal tersebut menjadi tugas bersama, terutama lembaga itu sendiri untuk menumbuhkan kepercayaannya kembali. Salah satunya dengan transparansi keuangan.
“Siapa pun yang mengelola dana publik, maka disebut lembaga publik. Dan itu terikat dengan ketentuan harus transparan, terus akuntabel, serta penggunaannya disesuaikan dengan kaidah-kaidah lembaga publik, ” ujarnya.
Transparansi dana, lanjut Imron, tentunya akan memberikan ketenangan dan kepuasan bagi pendonor. Perihal lain, transparansi juga mencakup para program. Baginya, program yang ditawarkan lembaga haruslah jelas mengenai target, kebutuhan donasi, hingga penyaluran.
Pemerintah terlalu Reaktif
Hal lain, ia justru menyayangkan sikap pemerintah dan masyarakat yang terlalu reaktif. Pembekuan dan pencabutan izin yang dilakukan, dianggap terlalu dini. Baginya, fungsi pengawasan yang dilakukan pemerintah tidak berjalan dengan baik.
“Harusnya ditelusuri dulu, dilakukan audit, kemudian pembinaan. Kan mestinya Kemensos yang memberi izin juga harus melakukan pengawasan. Nah, kenapa kok terjadi gini, padahal sudah sekian tahun, ”
Pada akhir, dia berpesan agar masyarakat semakin cermat dalam mendonasikan hartanya. Dan juga, ia berharap untuk tidak cepat memberikan justifikasi dan reaksi. “Kalau ada satu yang bermasalah, bukan berarti semua lembaga filantropi itu buruk, ” tutupnya.
Penulis: Afrizal Naufal Ghani
Editor : Nuri Hermawan