SURABAYA - World Health Organization (WHO) menyebut penyakit kardiovaskular menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia dengan belasan juta korban tiap tahun. Kehadirannya seringkali pula tanpa peringatan. Tidak mengherankan jika serangan jantung dan pembuluh darah menjadi momok banyak orang.Kardiovaskular diduga terjadi pada pesepeda yang tiba-tiba terjatuh dan meninggal dunia di kawasan tanggul lumpur Sidoarjo pada Kamis (3/3/2022) yang lalu.
Menyusul peristiwa ini, dr Mochamad Yusuf SpJP(K) PhD FIHA FESC FAsCC pada Selasa (15/3/2022) memberikan tanggapan. “Bicara hal tersebut (kematian seseorang, Red) yang sifatnya mendadak, terutama apabila 1x24 jam atau bahkan 1 jam sebelumnya (keadaan fisik seseorang, Red) tidak bermasalah, seringkali yang dikambinghitamkan adalah (sakit, Red) jantung, ” ujar dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di Rumah Sakit Universitas Airlangga (RSUA).
Baca juga:
Vaksin Booster Itu Penting, Apa Alasannya?
|
Meski demikian, Yusuf menegaskan bahwa kemungkinan penyebab meninggalnya korban tidak hanya terbatas pada serangan, tetapi juga gangguan irama pada jantung. Lulusan doktor dari Juntendo University itu menjelaskan bahwa pola hidup dan faktor genetika menentukan tingkat kerentanan individu. Risiko meningkat pada perokok berat, obesitas, hingga kelompok usia paruh baya.Penyumbatan Tiba-Tiba pada Jantung.
Yusuf menyebut, serangan jantung merupakan peristiwa ketika terjadi penyumbatan tiba-tiba pada pembuluh koroner yang berada di jantung. Apabila jantung tidak mendapat mensuplai oksigen yang cukup, akan timbul rasa nyeri pada dada. Nyeri ini juga menjadi gejala gangguan irama jantung.
“Tapi ada sejumlah orang yang angkanya kecil sekali, dimana ia akan mengalami gangguan jantung tanpa (penyumbatan pembuluh) koroner. Sejak awal sudah ada defect (cacat, Red) yang kurang lebih meningkatkan risiko faktor terkena (penyumbatan pembuluh, Red) koroner, ” papar praktisi kesehatan di RS Siloam Surabaya tersebut.
Keadaan korban yang meninggal ketika bersepeda mengindikasikan individu yang aktif berolahraga. Meski demikian, Yusuf menegaskan bukan berarti olahraga memperparah risiko penyakit kardiovaskular. Sebaliknya, olahraga merupakan hal yang dianjurkan secara medis. Namun, tetap harus ada ‘introspeksi diri’.“Konkretnya begini, ketika saya mau berolahraga tapi tensi saya 190 atau ketika saya lagi demam, ya, jangan berolahraga. Tapi ketika tidak ada keluhan, tensinya bagus, maka mulailah dengan olahraga ringan dan bertahap, ” ujar dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR) tersebut.
Yusuf kemudian memberikan tips menghindari penyakit serupa. Gangguan terhadap jantung dapat diminimalisir dengan tidak merokok serta menghindari konsumsi kolesterol dan gula berlebih. Olahraga rutin juga dapat meningkatkan kesehatan jantung dan pembuluh darah. Bagi individu yang memiliki risiko penyakit jantung bawaan, Yusuf anjurkan agar menjalani pemeriksaan rutin. (*)